PERLUKAH SAYA BERASURANSI?: SEBUAH OPINI MASYARAKAT PEDESAAN
Siapa sih yang tidak mengenal istilah asuransi?. Toh, kalaupun ada, pastinya orang tersebut bukan anda ataupun saya. Awalnya, istilah ini lebih familiar dan identik dengan masyarakat perkotaan, menjadi trend-style malah di kalangan selebritis. Saat ini terdapat berbagai macam asuransi dengan trade mark yang bervariasi pula. Sebut saja, misalnya asuransi jiwa bersama Bumiputera 1912. Asuransi berbasis dan berakar kepribumian ini menawarkan produk layanan asuransi perseorangan, kumpulan, dan syari’ah.
Penjelasan tentang arti asuransi sendiri dapat kita temukan dari berbagai sudut pandang dan sumber. Misalnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa asuransi itu pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yg satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yg lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yg menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat). Singkatnya, asuransi adalah sebuah sistem untuk meminimalkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya. Jadi, kita tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan keapesan yang mungkin menimpa secara tiba-tiba.
Bagaimana dengan masyarakat pedesaan?. Apakah mereka paham dengan sistem asuransi?. Pertanyaan ini mungkin dapat dijawab dengan mudah; belum!. Tepatnya, belum semuanya!. Pasalnya, mereka lebih mengenal koperasi dan bank. Koperasi mempunyai usaha simpan pinjam yang dapat digunakan oleh para petani, notabene mayoritas mata pencarian di pedesaan, untuk mengolah pertanian mereka. Begitu pula dengan bank. Sebut saja simpedes (simpanan pedesaan). Masyarakat merasakan manfaat yang cukup besar dari kedua lembaga keuangan ini. Apalagi bentuk pinjaman yang diberikan instant dengan nominal yang bisa ditentuka sendiri besarnya. Misalnya, pinjam 10 juta, dapatnya juga 10 juta.
Memang orientasi asuransi dan bank itu jelas berbeda. Fasilitas bank salah satunya adalah menyediakan jasa pinjaman, kredit dengan berbagai tingkatan bunga dan tujuan. Untuk berwirausaha ataupun hanya sekedar pemenuhan konsumtif belaka. Sedangkan asuransi berorientasi terhadap pembayaran jaminan perlindungan kepada suatu pihak. Caranya, pihak yang ingin berasuransi sedikitnya per bulanya dikenakan premi. Besaran premi ini tergantung kepada beberapa faktor. Antara lain fluktuasi kurs dolar, jangka waktu pembayaran polis, dan jenis asuransi yang disepakati, misalnya si A dengan asuransi jiwa bersama Bumiputera 1912.
Orientasi inilah yang menyebabkan masyarakat pedesaan kurang ngeh untuk berasuransi. “Pak, saya itu butuhnya modal untuk usaha. Dana segera dicairkan. Kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah begini banyaknya. Ngapain saya harus nunggu asuransi yang harus nunggu bertahun-tahun?”. Demikian komentar umum yang sering dilontarkan oleh masyarakat pedesaan. Jelaslah, masyarakat belum memahami asuransi dengan jelas dan tepat.
Sebenarnya, tidak semua masyarakat pedesaan kurang ngeh untuk berasuransi. Memang ada beberapa diantaranya yang mengikuti asuransi. Mulanya, mereka membayar premi sesuai dengan perjanjian bersama dengan rutin dan tepat waktu. Akan tetapi masalah timbul ketika kontrak polis habis atau pemegang polis meninggal. Ternyata, ketika klaim diajukan, nominal polis yang diterima tidak sesuai dengan yang disepakati. Usut punya usut, petugas penagih asuransi tersebut tidak amanah. Artinya, premi setiap bulanya tidak disampaikan dan salurkan kepada badan/perusahaan asuransi. Masuk ke kantong si penagih tentunya. Naif!. Pastinya, pemegang polis dibuat kecewa, sangat, malah!. Faktor ini juga membuat masyarakat pedesaan enggan untuk bersuransi. Bahkan, mereka sangat alergi. Keadaan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Jika sudah begini, maka salah siapa, pemegang polis, pihak asuransi, petugas asuransi, ataukah sistem perasuransiannya?. Silahkan dievaluasi.
Jika mau jujur, masyarakat pedesaan sebenarnya tidak perlu alergi dengan asuransi. Padahal dalam prakteknya mereka telah melakukan transaksi asuransi. Loh?. Ya, setiap transaksi pinjaman di suatu bank pastinya dikenakan biaya asuransi pinjaman. Tujuannya, jika peminjam meninggal, maka peminjam dan ahli warisnya tidak perlu menangung derita berkepanjangan. Hutang!. Pihak bank pun tak perlu pusing tujuh keliling dalam pengembalian pinjaman tersebut. Nah, peminjam dan bank sama-sama diuntungkan tentunya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah mereka lebih senang meninggalkan dunia ini dengan menanggung hutang?. Jawabannya, tidak!.
Jadi, mengapa mereka masih ragu berasuransi?. Padahal banyak keuntungan dan kemudahan yang bisa didapatkan dengan berasuransi. Solusi dari pertanyaan ini terletak pada asuransi mana yang memastikan pemegang polis tidak diragukan. Tentunya sesuai dengan pola pikir dan budaya masyarakat pribumi, utamanya masyarakat pedesaan yang masih kekeh memegang tradisi ketimuran. Bisakah dengan asuransi jiwa bersama Bumiputera 1912 menjawab tantangan ini?, pasti bisa!.
No comments:
Post a Comment